Pernikahan itu Butuh Kesabaran

Diposting oleh :
Kategori :

Beberapa waktu lalu, pernikahan Atta – Aurel menyita perhatian publik dengan acara pernikahan mereka yang disiarkan di televisi. Keduanya masih cukup muda, Atta di usia 26 tahun dan Aurel 22 tahun. Berita terkait bulan madu mereka pun masih hangat dibicarakan di beberapa media. Pernikahan mereka bisa membuat siapapun iri.

Ya, pernikahan memang menjadi tujuan akhir bagi pasangan yang serius menjalin hubungan. Hampir semua pasangan merasa bahagia ketika dinyatakan sah sebagai suami istri, seolah olah hanya ada hal baik yang akan ditemui. Ketika saya menikah, saya dibisiki oleh salah satu tamu undangan, “yang sabar ya”. Awalnya saya tidak mengerti, setelah dikaruniai anak barulah saya mengerti alasannya.

Dekorasi pernikahan - akad nikah

Bulan Madu

Ketika baru baru menikah, umumnya kita akan merasa bahagia. Bahagia karena bisa terus menerus melihat pasangan yang kita cintai dan menjalani hidup bersamanya.

Sedikit demi sedikit kebiasaan pasangan akan terlihat disini. Bahkan bagi pasangan yang bertahun tahun berpacaran pun masih ada hal yang baru diketahui setelah menikah.

Pertengkaran tentu ada, namun euforia bahagia usai sah sebagai suami istri masih mendominasi. Para pasangan muda akan disibukkan dengan adaptasi diri, secara pribadi maupun dengan keluarga besar.

Kehamilan

Momen kehamilan adalah masa yang paling indah bagi wanita. Merasakan ada bayi yang tumbuh di rahimnya dan juga perhatian dari orang sekitar.

Bagi seorang pria, biasanya mereka akan merasa bahagia sekaligus cemas. Tentu saja bahagia karena akan bertambahnya anggota baru. Namun juga cemas terhadap proses kehamilannya kelak, biaya persalinan dan biaya untuk menghidupi anak. Masa kehamilan adalah masa dimana mereka merasakan satu beban baru dalam hidup.

Baca juga : Kompetisi Berbagi Masakan Ramadan Hadiah 15 Cookware Tefal

Sedangkan bagi seorang wanita pun sama. Bahagia karena alasan yang sama dan juga karena mendapatkan perhatian ekstra dari suami. Rasa cemas timbul ketika memikirkan proses persalinan kelak, atau juga ikut memikirkan apa yang dipikirkan oleh suami.

Biaya persalinan cukup menjadi momok para suami. Sedangkan metode persalinan adalah momok para istri. Beberapa masih berpikir bahwa metode melahirkan terbaik adalah normal.

Usai Melahirkan

Usai melahirkan, kekhawatiran akan proses persalinan lenyap. Yang ada adalah kekhawatiran bagaimana membesarkan sang anak. Masa ini adalah masa yang melelahkan dimana kita tak lagi mampu menikmati tidur maupun makan dengan tenang.

Momen ini juga menguji kerja sama antara suami dan istri. Mengurus bayi baru lahir bukan perkara mudah. Jam tidur belum teratur, ASI tidak lancar, masalah kesehatan dan lainnya. Ah, tentu saja quality time dengan suami berkurang.

Persoalan timbul ketika masa 40 hari habis, siapakah yang akan menjaga anak. Dilema muncul, tetap bekerja namun kehilangan waktu bersama anak. Atau tidak bekerja namun kehilangan penghasilan. Bersyukurlah jika Anda memiliki kelapangan finansial. Namun bagi istri yang memutuskan untuk tetap bekerja, ini adalah pergolakan batin yang panjang.

Jika anak diasuh orang tua bisa jadi timbul masalah perbedaan pola asuh. Jika diasuh oleh baby sitter akan muncul trust issue, mencari baby sitter itu susah susah gampang loh. Belum lagi bagi waktu dengan pekerjaan, wah itu juga buat stress.

Ketika Anak Beranjak Besar

Lambat laun hubungan pernikahan dihiasi orang ketiga, yaitu si kecil. Hubungan tak lagi tentang suami dan istri. Bukan hanya sulit mencari waktu berdua, namun secara tidak langsung yang terjadi dalam hubungan pernikahan adalah demi anak. Jika sebelum ada anak, alasan perhatian adalah karena untuk kita pribadi, setelah ada anak maka anak menjadi alasan dibaliknya.

Kebiasaan masing masing mulai terlihat jelas dan memicu konflik. Masalah yang muncul pun semakin kompleks; uang, mertua, anak, dan lainnya.

Hal yang sering dilakukan semasa belum memiliki anak pun perlahan ditinggalkan. Jam nongkrong berkurang contohnya. Bahkan bagi wanita mungkin akan kehilangan waktu untuk shalat tarawih di masjid karena harus menjaga anak yang masih batita. Mau kerja lembur pun masih memikirkan pasangan di rumah.

Menikah adalah Masalah Baru

Wah tentu saja. Bertambah lagi variabel masalah dalam hidup kita. Hidup menjadi semakin kompleks sekaligus tidak bebas. Tanggung jawab bertambah.

Sekarang saya paham kenapa menikah harus sabar, karena masalahnya bertambah banyak. Dan jujur saja, menikah itu butuh keseriusan dan berpikir keras. Bukan seperti pacaran yang kalau ada masalah tinggal putus.

Akan ada satu waktu kita merasa muak dengan pasangan, namun kembali hilang dan berganti dengan rasa sayang.

Untuk wanita, menikah dan memiliki anak bisa jadi merenggut kecantikannya, kariernya, pertemanannya dan juga penghasilannya. Untuk pria, menikah dan memiliki anak membuat mereka merelakan pertemanannya dan kehidupan yang santai.

Apa Enaknya Menikah?

Menikah itu banyak resikonya, tidak heran jika banyak juga yang memilih tidak menikah. Tapi saya pribadi, tidak menyesali keputusan untuk menikah. Menikah juga enak kok.

Pertama, menikah itu ibadah dan dianjurkan oleh agama (saya).

Kedua, hidup bersama orang yang dicintai itu indah. Meski tentu melewati banyak hal pahit yang akan dilewati.

Ketiga, kita tidak akan menua sendiri. Setidaknya ada pasangan atau anak yang akan menjaga kita.

Menikah telah merenggut banyak kebebasan dalam hidup. Membutuhkan komitmen dan kesabaran seumur hidup. Balasannya, cinta yang tulus dari keluarga kita jika kita menjalaninya dengan sungguh sungguh.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *